Senin, 21 Februari 2011

Kearifan Lokal Merapi

Wafatnya Mbah Maridjan dalam menjalankan tugas sebagai abdi dalem kuncen Gunung Merapi memang sangat memilukan. Beliau masih berpegang teguh mengemban amanat hingga akhir hayat bersama dengan puluhan warga dusun Kinahrejo yang turut menjadi korban keganasan awan panas Merapi. 


Tentunya, orang awam akan berpikiran bahwa tindakan yang dilakukan oleh Mbah Maridjan bersama puluhan penduduk yang tetap bertahan dan tidak mau dievakuasi ke barak pengungsian merupakan sesuatu yang fatal dan tidak rasional mengingat bahaya akan kehilangan nyawa sudah di depan mata. Namun bila ditelisik lebih mendalam lagi, apa yang dilakukan oleh Mbah Maridjan sendiri bukanlah sesuatu yang salah karena beliau sendiri menyakini prinsip kejawen yang dia percayai selaku orang Jawa. Prinsip kejawen ini barangkali sudah banyak dilupakan orang, terutama orang Jawa yang kini mulai tergerus identitas kejawaannya, seiring dengan modernitas zaman.

Oleh karena itu, wafatnya Mbah Maridjan beserta puluhan penduduk Kinahrejo dapat diartikan sebagai benteng terakhir pertahanan kebudayaan adiluhung Jawa yang masih tersisa di era sekarang.

Siti Songsong Buwana

Prinsip yang dipegang teguh Mbah Maridjan adalah konsep Siti Songsong Buwana. Prinsip itu mengandung maksud bahwa tanah yang dikelilingi oleh gunung membuat penghuninya akan memiliki pandangan luas atau selalu ingat dan waspada (eling lan waspada) terhadap lingkungan sekitarnya yang mana para penghuinya akan dicintai banyak orang. Selain itu, jenazah Mbah Maridjan yang bersujud di rumahnya beserta puluhan warga Kinahrejo yang meninggal di lingkungan tempat tinggalnya saat awan panas menerjang juga merupakan indikasi praksis penerapan Siti Songsong Buwana dimana alam lingkungan tempat tinggal juga mempengaruhi watak penghuninya. Secara makro, alam merupakan pelindung jiwa manusia sehingga melahirkan serabut keterikatan yang kuat antara manusia dengan alam serta secara mikro mengandaikan bahwa alam adalah rumah tempat berlindung dan bernaung manusia dari lahir, balita, anak-anak, remaja, dewasa, tua, hingga kemudian mati. Rumah itu sendiri dibangun secara bersama-sama dari unsur alam sehingga membuat manusia merasa betah dan nyaman tinggal di dalamnya. Dari sinilah keterikatan manusia dengan rumah tidak dapat dipisahkan sekalipun terjadi bencana (Sastroatmodjo, 1983:31). Maka lingkungan sekitar terutama rumah sendiri dalam kebudayaan Jawa sejatinya merupakan puser atau pusat aktivitas dan manifestasi pengakuan manusia, sebagai salah satu makhluk hidup, terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa, sebagai causa prima yang membentuk dan menciptakan alam.

Selama ini kehidupan Mbah Maridjan beserta penduduk Kinahrejo lainnya sangat bergantung kepada alam lingkungan sekitarnya. Hal itu dapat dibuktikan dengan corak agraris yang ditampilkan para warganya dalam keseharian mereka, seperti beternak sapi perahan, merumput, bertani, mencari kayu di hutan, dan berladang. Ini membuat kehidupan mereka sangat bergantung kepada lingkungan sekitar dan kemudian bersahabat dengan alam walaupun alam tempat tinggal mereka adalah kawasan yang paling berbahaya karena hanya berjarak 3-4 kilometer dari puncak Merapi. Meskipun menyadari bahwa alam lingkungan tempat tinggal mereka adalah kawasan berbahaya, mereka tetaplah nrimo karena alam itulah yang dipercayakan Tuhan kepada mereka untuk ditinggali dan beranak pinak mengembangkan kehidupan.

Inilah mengapa penduduk Kinahrejo merasa betah dan nyaman tinggal di kaki lereng Merapi. Inilah bentuk loyalitas dan puji syukur kepada Tuhan karena masih diberi kelimpahan rahmat-Nya. Hidup dan matinya penduduk di sana sudah diserahkan dan dipasrahkan kepada Sang Pencipta. Alhasil, sangatlah wajar apabila warga padusunan Kinahrejo, Glagaharjo, Umbulharjo, dan lainnya menolak tempat tinggal mereka direlokasi oleh Pemerintah Kabupaten Sleman, Magelang, Klaten, dan Boyolali pasca erupsi Merapi. Inilah juga yang menjelaskan pola perilaku nekat penduduk yang meninggalkan barak pengungsian dan memilih kembali ke permukiman mereka meskipun masa tanggap darurat dan status awas Merapi masih berlaku. Keterpisahan mereka dengan tanah mereka akan mengakibatkan tercerabutnya akar kultural serta mengubah hubungan tatatan sosial yang telah diwariskan dalam kehidupan mereka oleh alam sekitarnya dan akan memotong tali keterikatan yang sudah dibangun sejak zaman nenek moyang.

Mbah Maridjan dijadikan panutan warga sekitar karena beliau memiliki pandangan luas untuk melihat tanda-tanda alam dan menyampaikan seruan kepada warga untuk mengungsi ke barak pengungsian berdasarkan penglihatannya meskipun dirinya yang paling terakhir berada di desa. Maka tidaklah mengherankan apabila kini wafatnya Mbah Maridjan sendiri ditangisi banyak orang karena dialah penghubung antara dunia alam dan dunia gaib yang konon bertautan dengan unsur kosmologi alam yang membangun kearifan lokal dusun, dan terlebih lagi Kesultanan Yogyakarta.

Nilai Keteladanan

Sesungguhnya wafatnya Mbah Maridjan telah mengajarkan keteladanan bahwa seorang pemimpin haruslah berani memegang prinsip yang menurutnya benar dan memberi kemaslahatan bagi sekitarnya sekalipun itu akan membahayakan dirinya sendiri. Selain itu pula, sikap Mbah Maridjan yang menolak diungsikan adalah sebagai wujud keimanan dan ketakwaan kepada Sang Pencipta dalam perspektif kebatinan Jawa, yakni lahir dan matinya seseorang itu telah digariskan melalui tanda-tanda alam yang diberikan Tuhan, agar manusia selalu bertawakal dan berserah diri saat senang, sedih, maupun susah. Akhir kata, Mbah Maridjan memberi makna untuk selalu bersyukur dalam menjalani kehidupan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar